Allah berfirman yang artinya, “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan amal (ketaatan) kepada-Nya dalam menjalani agama yang lurus, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah : 5).
Allah juga berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan benar. Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar : 2).
Allah pun berfirman memerintahkan kepada Nabi-Nya yang artinya, “Katakanlah; Sesungguhnya Aku diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya semata.” (QS. Az-Zumar : 11).
Dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung pada niat. Maka barangsiapa yang berhijrah dalam rangka memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya benar-benar akan mendapatkan balasan berhijrah menuju Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan dunia atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya akan memperoleh apa yang dia niatkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang pertama kali akan diadili pada hari kiamat kelak adalah seorang yang berperang untuk mencari mati syahid di jalan Allah. Kemudian dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya (di dunia) maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang sudah kamu kerjakan dengan nikmat-nikmat itu?’. Dia menjawab, ‘Aku telah berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid’. Allah menjawab, ‘Kamu dusta! Sebenarnya kamu berperang karena ingin mendapatkan pujian sebagai seorang yang pemberani, dan hal itu telah kamu dapatkan. Lantas Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup dan dia pun dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya, seorang lelaki yang telah diberikan kelapangan rezeki dan dikaruniai beragam harta benda. Dia juga dihadirkan, dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Dia pun mengakuinya. Allah pun bertanya kepadanya, ‘Apa yang sudah kamu kerjakan dengannya?’. Dia menjawab, ‘Tidak ada satu jalanpun yang harus kusedekahkan hartaku kecuali telah aku infakkan harta itu di jalan-Mu, ikhlas karena-Mu.’ Maka Allah menjawab, ‘Kamu dusta! Sebenarnya kamu lakukan hal itu agar kamu dijuluki sebagai orang yang dermawan. Dan pujian itu telah kamu dapatkan.’ Lantas Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup dan dia pun dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya, seorang lelaki yang mempelajari ilmu (agama) dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an. Dia pun dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Dia pun mengakui itu semua. Allah bertanya, ‘Apa yang sudah kamu perbuat dengan itu semua?’. Maka dia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu, mengajarkannya, dan membaca Al-Qur’an di jalan-Mu.’ Allah menjawab, ‘Kamu dusta! Sesungguhnya kamu menuntut ilmu agar disebut sebagai orang alim, kamu membaca Al-Qur’an agar disebut sebagai qari’.’ Lantas Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup dan dia pun dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan, “Ada tiga buah tanda orang yang suka riya’ (beramal tidak ikhlas) : [1] apabila sendirian maka dia menjadi pemalas, [2] dan hanya bersemangat apabila berada bersama orang-orang, [3] dia akan meningkatkan amalnya jika dipuji dan akan mengurangi amalnya jika dicela orang karena melakukannya.” (Al-Kabaa’ir, hal. 156).
Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Tidaklah Aku melihat ada sesuatu yang lebih dapat membangkitkan keikhlasan daripada khalwah (menyendiri).” (Risalah Qusyairiyah, juz 1 hal. 50. Asy-Syamilah).
Syaikh As-Sa’di mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya mengikhlaskan amal karena Allah merupakan pondasi agama, ruh tauhid dan ibadah. Hakikat ikhlas itu adalah hamba beribadah hanya bermaksud untuk mendapatkan pahala melihat wajah-Nya, menginginkan balasan dan keutamaan dari-Nya…” (Al-Qaul As-Sadid, hal. 107).